Resensi Buku Rindu
Data buku
Judul novel : Rindu
Pengarang : Darwis Tere Liye
Penerbit : Republika
Tahun terbit : 2014
Tebal buku : 544 halaman
Sinopsis
“Apalah arti memiliki, ketika diri kami sendiri bukanlah milik kami?
Apalah arti kehilangan, ketika kami menangis terluka atas perasaan yang
seharusnya indah? Bagaimana mungkin, kami terduduk patah hati atas sesuatu yang
seharusnya suci dan tidak menuntut apapun?
Wahai, bukankah banyak kerinduan saat kami hendak melupakan? Dan tak
terbilang keinginan melupakan saat kami dalam rindu? Hingga rindu dan melupakan
jaraknya setipis benang saja.”
Novel ini bercerita tentang perjalanan panjang sebuah kerinduan.
Perjalanan kerinduan yang membawa banyak hal yang terbeban di hati. Mulai dari
bagaimana ia menghadapi perjalanan dengan penuh dosa di masa lalu. Lalu
seseorang yang melakukan perjalanannya dengan penuh kebencian. Ada punya dia
yang kehilangan cintanya menjadi sebab mengapa ia melakukan perjalanan ini.
Cerita berlatar waktu pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Yakni pada
masa ketika Belanda masih menduduki Indonesia. Pada masa itu, pemerintah Hindia
Belanda memberikan layanan perjalanan haji untuk rakyat pribumi yang memiliki
cukup uang. Perjalanan dilakukan lewat laut yakni menggunakan kapal uap besar
yang merupakan perkembangan teknologi transportasi tercanggih pada masa itu.
Salah satu kapal yang beroperasi untuk melakukan perjalanan haji ini adalah
Blitar Holland. Di kapal besar inilah segala kisahnya dimulai.
Tere Leye meracik cerita dengan begitu menarik. Belum lagi dengan nuansa
latar yang berbeda seperti kehidupan di atas kapal uap besar. Di atas kapal
juga terjadi interaksi sosial antar penumpang kapal. Juga terdapat
fasilitas-fasilitas umum seperti kantin, masjid, dan tukang jahit kapal.
Diceritakan mengenai keluarga Daeng Andipati yang terdiri orang tua,
seorang pembantu rumah tangga, serta dua anak yang mengikut perjalanan haji
ini, yakni Anna dan Elisa. Mereka menjalani lamanya waktu perjalanan haji
dengan riang gembira. Seakan tidak pernah mengerti tentang apa yang terpendam
di hati Daeng, ayah mereka.
Ada pula tokoh yang bernama Ambo Uleng. Dia adalah seorang pelaut.
Hampir seluruh hidupnya dihabiskan di atas lautan. Ambo Uleng rupanya menuruni
sifat ayahnya yang seorang pelaut juga. Ia menaiki kapal Blitar Holland tidak
dengan tujuan apapun. Tidak untuk bekerja, mengumpulkan uang, atau apapun. Ia
hanya ingin pergi sejauh-jauhnya meninggalkan tanah Makassar yang ia jalani
melalui kisah pilunya.
Di sisi lain, ada seorang keturunan Cina. Ia sering mengajari ngaji
anak-anak di mushola kapal sepanjang perjalanan haji. Anak-anak biasa
memanggilnya Bonda Upe. Bonda Upe ini rupanya sedang memendam masa lalunya
sebelum memeluk Islam. Hingga tiap malam ia selalu menangisi dosa-dosanya yang
dulu.
Dari sini pula diceritakan Gurutta Ahmad Karaeng, ulama tersohor asal
Makassar yang mengikuti perjalanan haji. Beliau rutin melaksanakan solat
berjamaah bersama penumpang lain. Secepat itu pula Gurutta meminta izin kepada
kapten untuk mengadakan pengajian di atas kapal. Beliau adalah sosok yang
selalu memberikan jawaban terbaik atas pertanyaan orang-orang. Namun ternyata
ia sendiri telah memendam lama sebuah pertanyaan yang tak mampu seorang pun
menjawab
Kelebihan dan kekurangan buku
Adapun kelebihan buku ini adalah alur ceritanya yang begitu menarik dan
mengalir untuk dibaca. Juga menyajikan nuansa latar yang berbeda. Yakni
peristiwa kehidupan yang terjadi di atas kapal ibarat kapal uap besar itu
adalah sebuah kampung. Sedang kekurangan buku ini terletak pada sampul buku
yang kurang begitu menarik. Tidak sebanding dengan isinya yang begitu menarik
untuk dibaca.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar