Judul: Ayah
Penulis: Andrea
Hirata
Penerbit: Bentang
Pustaka
Terbit: Mei
2015
Tebal: 412
halaman + xx
Setelah
lama tak kedengaran, Andrea Hirata muncul lagi dengan novel barunya,Ayah. Dua
minggu sebelum buku ini resmi terbit tanggal 29 Mei, saya sudah mendapatkannya
duluan (jangan tanya dapat dari mana). Saya langsung membacanya dan
tamat dalam 5 hari. Kalau saja saya lagi nggak banyak kerjaan, mungkin satu-dua
hari juga beres.
Awalnya
saya agak takjub melihat buku ini: kover depan dan beberapa halaman awal
dipenuhiendorsement dari berbagai media dan penulis berbagai
negara. Padahal novel ini bahkan belum terbit di Indonesia (waktu saya baca)!
Tapi kemudian saya kecele. Semua puja-puji itu bukan untuk Ayah,
melainkan untuk Laskar Pelangi … hehehe! Kesannya kok Ayah seperti
kurang percaya diri, sampai-sampai harus menggunakan endorsementLaskar
Pelangi yang jumlahnya berjibun itu.
Di kover belakang pun tidak ada sinopsis Ayah. Yang ada adalah biografi singkat penulisnya—ini pun juga ada di kover dalam bagian depan. Padahal, tanpa semua itu pun Andrea sudah punya pembacanya sendiri. Tapi ya sudahlah …
Di kover belakang pun tidak ada sinopsis Ayah. Yang ada adalah biografi singkat penulisnya—ini pun juga ada di kover dalam bagian depan. Padahal, tanpa semua itu pun Andrea sudah punya pembacanya sendiri. Tapi ya sudahlah …
Ayah masih
menggunakan Belitong sebagai latar cerita utama. Ceritanya tentang empat
sahabat bernama Sabari, Ukun, Tamat, dan Toharun. Keempatnya bersekolah di
sekolah yang sama. Andrea membangun kisah dengan menceritakan keseharian
keempat sahabat itu dan latar belakang keluarganya masing-masing.
Mirip
dengan tokoh-tokoh di Laskar Pelangi, masing-masing dari keempat
sahabat tadi punya karakter yang unik. Tak jarang mereka juga begitu polos dan
naif, namun kadang bisa cerdas juga. Bagian ketika Andrea menceritakan
masa sekolah anak-anak ini hingga lulus mendapat porsi terbanyak dalam buku.
Menurut saya bagian ini cukup asyik. Humornya sangat khas Andrea.
Sabari
diceritakan jatuh cinta sejak SMP pada seorang gadis bernama Lena. Walau gadis
itu tak pernah memedulikannya, Sabari tak pernah menyerah. Ia kerap memajang
kertas berisi puisinya untuk Lena di majalah dinding sekolahnya. Sesekali,
gadis itu membalas, juga lewat mading.
Singkat
cerita, ketika sudah dewasa pun, Sabari tetap tak bisa melupakan Lena. Suatu
hari, ia mendengar kabar bahwa Lena hamil di luar nikah. Saat itu Sabari
bekerja di pabrik batako milik Markoni, ayah Lena. Sabari pun mau saja ketika
diminta menikahi Lena, demi menyelamatkan nama baik Markoni yang kurang
akur dengan Lena itu.
Anak
lelaki yang kemudian lahir dari rahim Lena itu kemudian diberi nama Zorro oleh
Sabari. Pasalnya, bocah itu ketika diberi boneka Zorro tak mau
melepasnya. Sabari sangat menyayangi Zorro. Dia ingin memeluknya
sepanjang waktu, terpesona melihat makhluk kecil yang sangat indah itu dan
seluruh kebaikan yang terpancar darinya. Tiap malam, Sabari susah susah
tidur lantaran membayangkan bermacam rencana yang akan dia lakukan bersama anaknya
jika besar nanti. Dia ingin mengajaknya melihat pawai 17 Agustus, mengunjungi
pasar malam, membelikannya mainan, menggandengnya ke masjid, mengajarinya
berpuasa dan mengaji, dan memboncengnya naik sepeda saban sore ke taman kota.
Dia
juga Ikhlas ketika Lena bahkan tak mau tinggal bersama mereka. Beberapa tahun
kemudian Lena malah minta cerai dan menikah lagi hingga tiga kali, bahkan
akhirnya mengambil Zorro dari Sabari. Pelan-pelan, Sabari mulai tampak seperti
orang gila dalam penampilan dan tingkah laku. Dua sahabatnya, Ukun dan Tamat,
lama-lama tak tahan melihat Sabari seperti itu, sehingga akhirnya mereka
memutuskan menjelajahi Sumatra demi menemukan Lena dan Zorro dan membawa mereka
kembali.
Berhubung
biasanya orang tidak suka dikasih spoiler saat baca resensi
buku, saya juga nggak akan memberitahu akhir kisahnya, dong. Bagi saya, ending-nya
agak mudah ditebak, soalnya tokoh yang sering diceritakan di awal tidak muncul
lagi di tengah cerita, hingga akhirnya nongol di akhir cerita, dengan nama yang
berbeda.
Novel Ayah ini
terbagi dalam bab-bab pendek, sehingga pembaca bisa dengan enak mencicil
baca. Di beberapa halaman akhir juga disertakan informasi soal buku-buku
Andrea yang sudah dan akan terbit, baik di Indonesia maupun terjemahan Laskar
Pelangidi negara-negara lain. Gila juga, ya …
Anyway,
saya suka gaya tulisan Andrea yang khas dan lugas. Novel kali ini juga tidak
menggelar glorifikasi soal kesuksesan studi di luar negeri. Para tokohnya
bahkan tetap kere dan tidak berpendidikan tinggi hingga akhir cerita. Tapi
kisah Sabari yang sangat tulus mencintai anaknya (yang bukan kandung),
kesetiakawanan para sahabatnya, dan humor rasa Melayunya menjadi magnet kuat
dalam Ayah. Walau ada beberapa bagian cerita yang menurut saya
nggak penting banget dan melebar ke mana-mana, misalnya bagian tentang
Australia itu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar